21 Hari di Kota Biru

Rp50,000

Category:

21 hari di kota biru

Judul Buku :  21 Hari di Kota Biru

Praktik pembelajaran Surau, Silek dan Rantau dalam menemukenali bakat Siswa (Talent Mapping Strength Cluster)

 

Buku ini menggambarkan Surau, Silek dan Rantau yang menjadi trilogi dan trikompetensi kehidupan bagi anak-anak Minang pra akil baligh era sebelum tahun 1970-an. Mereka ditempa langsung dibawah ninik mamak baik fisik, mental, spiritual dan life skill yang membuat anak-anak Minang era sebelum itu menjadi tokoh-tokoh inspiratif.

Melalui pendidikan surau kami meyakini transmisi budaya dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya akan mudah dijalankan. Internalisasi nilai-nilai budaya, adat dan syarak menjadi sangat penting untuk generasi saat ini, khususnya mereka usia pra akil baligh agar lebih siap memiliki imunitas dalam menghadapi setiap tantangan global, think locality action globality.

21 Hari di Kota Biru menarasikan pembelajaran Surau Merantau. Dalam program surau di malam hari, kami ditempa oleh para datuk tentang adat dan syarak, sejarah perjanjian marapalam, sejarah Minangkabau dan sejarah Kota Payakumbuh, termasuk suku-suku besar yang membentuk Koto nan Gadang Balai Kaliki. Kami juga turut serta mengalami aktivitas bersama masyarakat Koto nan Gadang, baik dalam aktivitas harian, gotong royong, ibadah dan jelajah situs-situs sejarah di area Payakumbuh. Beberapa instrumen mendukung yang digunakan rangmuda/I antara lain observasi, deep interview dan kunjungan ke situs-situs sejarah serta membaca literasi yang mendukung.

Fakta dilapangan, secara fisik memang surau masih bisa ditemukan di beberapa wilayah Sumatera Barat, terutama di Koto nan Gadang surau-surau masih bisa dilacak bahkan kokoh, tidak sedikit juga yang sudah berubah menjadi mushola atau masjid permanen. Tidak hendak mengulang apa yang menjadi kegelisahan AA Navis bahwa surau sudah roboh, kemudian meratapi saja kami Surau Merantau meyakini jiwa surau masih bisa “dipanggil” dengan menghadirkan sumber hidup melalui banyak para datuk yang masih peduli terhadap adat dan syarak tegak di ranah Minang. Maka, melalui program merantau di Kota Payakumbuh hendak “mengajak” bukan “mengejek” ninik mamak dan masyarakat Koto nan Gadang untuk bernostalgia tentang ruh surau melalui forum diskusi, ceramah dan napak tilas, yang dilakukan selama 21 hari dan tidak jarang sampai larut malam dalam setiapa harinya.

Demikian juga silek, menjadi komptensi inti bagi anak surau tempo dulu. Melalui perjalanan yang sangat terbatas rangmuda/I dan pembimbing juga merasakan tempaan fisik yang luar biasa melalui belajar silek langsung ke datuk atau murid datuk di sini.

Karaketeristik silek khas minang sesungguhnya adalah bela diri yang agresif dan mematikan. Malam-malam belajar silek demikian cepat, tidak terasa larut malam mengantarkan perjalanan kami berguru ke para Uda dan Datuk yang demikian terbuka menurunkan ilmu kanuragannya yang konon zaman old kalau mau diberikan jurus-jurus kunci maka anak surau harus melewati beberapa ujian dan dipilih yang sudah dapat dipercaya, karena sesungguhnya silek beladiri ini adalah silek yang paling akhir, diantara kompetensi wajib anak surau, yaitu silek akal, silek otak, silek lidah dan baru silek beladiri.

Demikian penting silek, karena melalui kegiatan ini keberanian dan militansi anak surau dapat teruji dan menjadi sangat penting karena dalam perjalanan berikutnya harus menjelajah kota atau tanah rantau yang bahkan sangat asing namun harus dilalui. Banyak kisah para Buya dan adatuk  dalam perjalanan dakwah harus berhadapan perampok atau orang-orang jahat namun melalui keahlian silek dapat membela diri bahkan melindungi masyarakatnya. Silek bagi generasi zaman now juga menjadi sangat penting, bahkan sebuah kewajiban selain skill penting lainnya.

Program merantau rangmuda/I Surau Merantau di Kota Biru (Payakumbuh) memberikan kesan mendalam dari para datuk dan masyarakat sekitar Rumah Gadang Dt. Gindo Simaro nan Kuniang yang termasuk Rumah Gadang tertua di Koto nan Gadang (1801) sekarang kediaman Bapak Budi dan Bundo Kanduang Fajrahmi.

Merantau kami di Kota Biru bukan sekedar perjalanan atau merantau pada umumnya yang dilakukan oleh kebanyakan anak rantau, merupakan proses signifikan dalam pembelajaran di Surau Merantau Sekolah Alam Tangerang dengan harapan tercapai beberapa kompetensi inti yang menjadi konstruk kurikulum Surau Merantau, di antaranya bisa dipetakan bakat mereka melalui project pra merantau, selama di rantau dan pasca merantau.

Pra merantau yang sudah dijalankan mereka antara lain, magang kurban, marketing kurban, manggaleh, project idividual barang dan jasa selama di lingkungan Sekolah Alam Tangerang. Selama di rantau lebih dominan aktivitasnya adalah baguru, terutama adat dan budaya serta silek praktis Minsa (Minang Saiyo), beberapa pengalaman bertani juga menjadi skill pengayaan yang bisa di followup di lingkungan sekolah, baik kelompok, individu maupun event sekolah (institusi). Puncaknya, dari merantau diharapkan rangmuda/I menemukan bakat yang menonjol dan mampu membuat produk bernilai dan bermanfaat untuk Surau Merantau dan masyarakat.

Buku ini hanya upaya untuk meneropong perspekif dinamika pembelajaran rangmuda/I secara partisipatoris-etnografis terhadap eksistensi adat dan budaya Minang serta potensi daerah yang didesain dalam praktik pembelajaran kekinian yang di adaptasi dari budaya surau, silek dan rantau menjadi pola pendidikan mendewasakan (pra akil baligh) Surau Merantau di Sekolah Alam Tangerang. Cerita duka cita, pengalaman menantang, inspirasi anak zaman now dan peta bakat dalam setiap aktivitas belajar di Nagari Koto nan Gadang selama 21 hari di Kota Biru menjadi bukti bahwa untuk mendidik anak harus tega dijauhkan dari comfort zone agar selaras antara aqil dan balighnya tumbuh bersamaan.

 

Andri Y.

Di Rumah Gadang Dt. Gindo Sinaro nan Kuniang

Ahad, 25 Februari 2018

Koto nan Gadang Balai Kaliki Kota Payakumbuh

No ISBN 978-2018-05-1-25

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “21 Hari di Kota Biru”

Your email address will not be published. Required fields are marked *